oleh : Ravenna
Pada
kuartal pertama di tahun 2019 ini, nasabah saya yang memilih melakukan
surrender terhadap polis asuransi jiwanya, total ada 5 buah polis dengan waktu
yang hampir bersamaan. Dan masing-masing polis tersebut belum bisa memberi
imbal hasil yang baik untuk investasinya. Dari alasan yang dikemukakan mengapa
mereka memutuskan untuk melakukan surrender adalah kebutuhan akan uang tunai
Menarik
untuk dicermati tentang permasalahan surrender ini, surrender bukanlah hal yang
menguntungkan dan membawa manfaat, namun lebih merugikan bagi masing-masing
pihak yang terlibat, tidak hanya bagi nasabah sendiri, bagi perusahaan
asuransi, juga bagi seorang agen asuransi. Bagaimana tidak bagi nasabah, diawal
saat memulai membuka polis asuransi jiwa dengan maksud untuk memperoleh
proteksi sekaligus manfaat berupa profit dari hasil investasi dalam satu paket
yang disebut dengan produk asuransi jiwa unit link.
Namun
seiring berjalannya waktu, maksud yang semula ini dilupakan karena terdesak
kebutuhan akan uang saat itu, dan karena faktor-faktor lain yang mengarahkan
pada pilihan untuk berhenti melanjutkan membayar premi dan menutup polisnya. Dikarenakan
usia polisnya yang masih terlalu dini untuk bisa memberi imbal hasil yang
memuaskan, jelas membawa pengaruh pada hasil yang diterima nasabah yang
jumlahnya kecil dari harapannya semula. Bagi perusahaan asuransi sendiri jika
surrender tergolong tinggi, ini dinilai ‘kurang sehat’ buat kelangsungan
perusahaan. Sedangkan bagi seorang agen asuransi, surrender jelas membawa
pengaruh persistensi, jika persistensi tinggi bisa menghambat laju karir sang
agen untuk melangkah ke jenjang lebih tinggi dalam struktur level manajerial, karenanya
penting bagi seorang agen untuk tetap menjaga persistensi nasabah agar tetap
rendah.
Dalam
majalah INVESTOR edisi April 2018 Windarto menulis, Surrender atau klaim nilai
ditebus asuransi jiwa terbilang tinggi dari tahun ke tahun. Pada saat terjadi
krisis atau bursa sedang lesu, klaim jenis ini pun masih jadi klaim terbesar.
Begitu pun ketika bursa sebaliknya, angka klaim ini masih besar. Berdasarkan
catatan AAJI perkuartal empat 2017, klaim nilai tebus mengambil porsi 55,6%
dari total klaim dan manfaat yang dibayarkan industri asuransi jiwa.
Direktur
Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menyebut beberapa kemungkinan atau alasan mengapa
polis ditebus masih banyak terjadi. Selain faktor kebutuhan dana tunai, banyak
di antara pemegang polis tidak memahami produk yang dibelinya. “Dalam arti dia
membeli produk asuransi tapi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan,” terangnya.
Biasanya polis ditebus terjadi pada produk-produk tradisional yang dikaitkan
dengan investasi, walaupun ada juga produk non tradisional yang melakukan
penebusan polis.
Berbeda dengan penebusan polis, pilihan yang lebih bijak adalah penarikan sebagian (partial withdrawal). Dengan penarikan sebagian, polis nasabah masih aktif dan perlindungan asuransi masih berlaku. Di sisi lain, dengan penarikan sebagian, sebagai investor, pemegang polis dapat memanfaatkan momentum naik turunnya bursa saham untuk memperoleh keuntungan dari investasi. Kendati tidak sebesar klaim surrender, klaim jenis ini pun terbilang tinggi karena tercatat sebesar Rp 17,49 triliun naik dari Rp 13,57 triliun atau tumbuh 28,9%. Klaim jenis ini menempati urutan kedua terbesar setelah klaim penebusan polis. Umumnya klaim-klaim jenis ini terjadi pada produk unit link. Produk unit link memiliki fleksibilitas dalam menambah dana investasi (top up) maupun untuk menarik sebagian dana tersebut.
Berbeda dengan penebusan polis, pilihan yang lebih bijak adalah penarikan sebagian (partial withdrawal). Dengan penarikan sebagian, polis nasabah masih aktif dan perlindungan asuransi masih berlaku. Di sisi lain, dengan penarikan sebagian, sebagai investor, pemegang polis dapat memanfaatkan momentum naik turunnya bursa saham untuk memperoleh keuntungan dari investasi. Kendati tidak sebesar klaim surrender, klaim jenis ini pun terbilang tinggi karena tercatat sebesar Rp 17,49 triliun naik dari Rp 13,57 triliun atau tumbuh 28,9%. Klaim jenis ini menempati urutan kedua terbesar setelah klaim penebusan polis. Umumnya klaim-klaim jenis ini terjadi pada produk unit link. Produk unit link memiliki fleksibilitas dalam menambah dana investasi (top up) maupun untuk menarik sebagian dana tersebut.
Presiden
Direktur PT Prudential Life Assurance
(Prudential Indonesia) Jens Reisch mengakui banyak klaim-klaim penarikan
sebagian karena untuk ambil untung memanfaatkan momentum bursa yang sedang bullish. Prudential Indonesia sepanjang
2017 membayarkan klaim dan manfaat sebesar Rp 12,3 triliun. “Paling besar pay out adalah profit taking. Saya lihat
fenomena kalau bursa naik 20% nasabah akan ambil. Dari beberapa season seperti
ini,” ujar Jens. Dijelaskan Jens, Prudential Indonesia sudah 23 tahun
beroperasi di Indonesia dan memiliki nasabah 3,5 jutaan. “Kalau nasabah sudah
10-20 tahun memegang polis, kenaikan 20% (investasi) itu sudah lumayan
signifikan (hasilnya). Kita sangat senang karena mayoritas nasabah tidak
surrender,” lanjut Jens.
Beberapa
produk unit link Prudential tahun 2017 mencatat imbal hasil di atas 20%,
diantaranya malah mencatat imbal hasil tertinggi yakni Prulink Rupiah Indonesia Greater China Equity Fund dan US Dollar Indonesia Greater China Equity
Fund serta Syariah Rupiah Asia
Pasific Equity Fund, selama 2017 ketiga unit link offshore tersebut meraih
imbal hasil tertinggi di antara unit link lain yang ada di Prudential
Indonesia, dengan imbal hasil masing-masing 25,05%, 24,01% dan 26,56%.
(SG)-Cisauk,
30 Mei 2019